AGAMA DAN POTENSI KONFLIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sepanjang 2012, publik Indonesia disuguhi berbagai macam kekerasan yang
mengatasnamakan agama. Sebagaimana dicatat The Wahid Institute,
terdapat 274 kasus pelanggaran intoleransi. Angka itu meningkat dibanding dua
tahun sebelumnya. Tercatat, 180 kasus pada 2010. Sementara tahun 2011 bertambah
menjadi 267 kasus. Tentu, peningkatan kekerasan atas nama agama dari tahun ke
tahun tersebut merupakan preseden buruk. Terlebih, Indonesia dihuni beberapa
pemeluk agama. Jika penaikan angka kekerasan itu tidak diantisipasi,
dikhawatirkan tahun ini bakal meningkat lagi. Maka itu, perlu pendidikan
kerukunan antarumat beragama sejak dini.
Dari beberapa sumber ada sejumlah aktor negara yang melanggar. Sebanyak 57
pelanggaran dilakukan oleh kepolisian. Disusul Satpol PP dengan jumlah 34
tindakan. Berlanjut 32 tindakan dan 10 tindakan yang berurutan dilakukan oleh
pemerintah kabupaten, dan tentara dan aparat lain. Sedangkan aktor nonnegara,
dilakukan oleh FPI, kelompok masyarakat, individu, MUI yang masing-masing
memiliki interval 52 tindakan, 52, 25, dan 24 tindakan.
Selain catatan kekerasan di atas, terdapat juga kekerasan yang menerobos
batas toleransi. Dalam soal ini, yang menjadi korban paling menonjol adalah
umat Kristiani. Penutupan 21 gereja di Aceh Singkil pertengahan tahun lalu
merupakan bukti. Kasus intoleransi yang sempat menyita perhatian yaitu kasus di
Sampang, Madura, yang melibatkan dua kelompok keagamaan: Syiah dan Sunni.
Catatan tersebut di atas merupakan bukti sahih bahwa semangat toleransi
masih perlu didukung sepenuhnya. Semua lapisan masyarakat harus
faham bahwa untuk membangun bangsa majemuk ini, tidak bisa hanya
mendasarkan pada egoisme kelompok yang berujung pada vandalisme. Vandalisme
mesti dikurung dalam ingatan sejarah dan pelajaran berharga, kemudian
diharapkan tidak diulang lagi. Karena berbagai potensi konflik agama yang ada,
akan menimbulakan masalah yang lebih besar lagi.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka untuk
memudahkan pembahasan, kami buat rumusan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimanakah Pengertian Agama ?
2.
Bagaimanakah Hubungan Antar Agama Di Indonesia?
3. Apa
Sajakah Potensi Konflik Dalam Agama?
4.
Bagaimanakah Kebijakan Pemerintah Dalam Kerukunan Umat Beragama ?
5.
Bagaimanakah Upaya Pencegahan Konflik Antar Ummat Beragama ?
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah agar kita selaku akademisi
mengetahui tentang :
1.Bagaimana Pengertian Agama
2. Bagaimana Hubungan
Antar Agama Di Indonesia
3. Apa
Saja Potensi Konflik Dalam Agama
4. Bagaimana
Kebijakan Pemerintah Dalam Kerukunan Umat Beragama
5. Bagaimana
Upaya Pencegahan Konflik Antar Ummat Beragama
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
AGAMA
Banyak sekali definisi dan pengertian agama, baik dari tokoh-tokoh agama
maupun filosof yang menguraikan tentang agama, secara berbeda, agama dari segi
etimologi berasal dari dua kata bahasa sanskerta yaitu; A: tidak
dan Gama: kacau, kocar-kacir, berantakan, Jadi pengertian agama
adalah tidak kacau, kocar-kacir atau tidak berantakan, atau agama itu teratur,
dan beres.
Disisi lain ada yang mendefinisikan pengertian agama yaitu ; a-ga-ma. A
(panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah
bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan,
cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan. Selain definisi dan pengertian
agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam bahasa Latin disebut Religion,
dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut Religion dan Religious,
dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.
Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki
perbedaan-perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’
dalam bahasa Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin,
dan kata ‘din’ dalam bahasa Arab. Namun secara terminologis,
ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu gerakan di segala bidang menurut
kepercayaan kepada Tuhan dan suatu rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan
pemikiran dan keyakinan, untuk mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas
manusia, untuk menegakkan hubungan baik antar anggota masyarakat serta
melenyapkan setiap bentuk diskriminasi buruk. Berikut ini beberapa dari
definisi dan pengertian agama dari para tokoh-tokoh yang lain:
R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan
pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan
dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi
emosionilnya.
Menurut Prof. Dr. Bouquet mendefinisikan agama adalah hubungan yang tetap
antara diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan
supernatur, dan yang bersifat berada dengan sendirinya dan yang mempunyai kekuasaan
absolute yang disebut Tuhan. [1]
Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu
bahwa agama merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang
mempunyai nilai yang tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan yang
dipercayai sebagai sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan
melestarikan nilai-nilai ini; dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan
serta pengabdian tersebut baik dengan cara melakukan upacaraupacara yang
simbolis maupun melaui perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat perseorangan
serta yang bersifat kemasyarakatan.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi
yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi
kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan
bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi. Dengan
bertolak dari beberapa pengertian agama, Harun Nasution merumuskan delapan
pengertian agama sebagai berikut:
1.
Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan
kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2.
Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai
manusia.
3.
Mengingatkan diri pada suatu bentuk yang mengandung
pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatannya.
4.
Kepercayaan kepada suatu kekuatan gaib yang
menimbulkan cara hidup tertentu.
5.
Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang
berasal dari kekuatan gaib.
6.
Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang
diyakini bersumber dari kekuatan gaib.
7.
Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari
perasan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan yang misterius yang terdapat
dalam alam sekitar manusia.
Dari uraian
tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa: Agama adalah
ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung
dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi
dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di dalamnya mencakup unsur
kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional
dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut tergantung pada adanya hubungan
yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.
B. HUBUNGAN
ANTAR AGAMA DI INDONESIA
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila:
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh
secara kolektif baik secara internal maupun eksternal terhadap politik, ekonomi dan budaya.
Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia
adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik,
1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama
lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk
diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan
"menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau
kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui
enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.[4][5] Walaupun
pemerintah Indonesia mengakui kebebasan untuk memeluk agama namun,
konflik antar agama kadang-kadang tidak terelakkan. Di masa Orde
Baru, Soeharto mengeluarkan perundang-undangan yang oleh beberapa
kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto mencoba membatasi
apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan agama.
Sebagai hasilnya, Buddha dan Khonghucu secara tidak
langsung telah diasingkan.
Semasa era Soeharto,
program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah
diaktifkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19.
Maksud program ini adalah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat seperti
pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih
sedikit penduduknya, seperti Ambon,
kepulauan Sunda dan Papua. Kebijakan ini mendapatkan banyak
kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh
orang-orang Jawa dan Madura, yang membawa agama Islam ke
daerah non-Muslim. Penduduk di wilayah barat Indonesia kebanyakan adalah orang
Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah
timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi
orang Islam. Hal ini bahkan telah menjadi pendorong utama terjadinya konflik
antar agama dan ras di wilayah timur Indonesia,
seperti kasus Poso pada tahun 2005.[3]
Dari sebuah poling yang dilakukan maka bisa dilihat tentang unsur unsur
yang merupakan bahaya terbesar bagai kelangsungan hidup sebagai suatu negara
sebagai berikut
Tabel
No
|
Opsi
|
Persentase
|
1
|
Kesenjangan sosial antaara si kaya dan miskin
|
50,39%
|
2
|
Pertikaian antar penganut agama
|
30,37%
|
3
|
Kerusuhan rasial
|
19,11%
|
Sumber diolah
dari majalah TEMPO
Dalam poling tidak disebutkan berapa N jumlah responden secara riil.
Sementaara itu selisih jumlah persentase dibulatkan ke ata untuk menjadi
100% hasil angket yang didapat majalah TEMPO diatas walaupun belum
secara pasti dapat di jadikan pegangan setidak-tidaknya dapat memeberi indikasi
kuat bahwa pertikaian antara penganut agama masih dianggap faktor
yang membhayakan kelansungan hidup bangsa. Sementara itu frekuensi sebesar
30,37 % (sepertiga) merupakan jumlah yang harus diperhatikan[4]. Meskipun faktor agama bukan menjadi
faktor yang dominan namun kita tidak boleh menutup mata, bahkan mencoba
menutup-nutupi seolah-olah tidak ada. Berbagai peristiwaa kendati disebutkan
bukan konflik agama, naamun sangat jelas adanya simbol-simbol agama yang
menjadi sasaran keberingasan masa.[5]
Melihat hal ini Pemerintah berusahaa untuk mengurangi konflik atau
ketegangan tersebut dengan pengusulan kerjasama antar agama. Kementerian Luar
Negeri, bersama dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul
Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional, memperkenalkan ajaran
Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi ketegangan tersebut.
Pada 6 Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema
“Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan”.
Negara-negara yang hadir di dalam konferensi itu ialah negara-negara
anggota ASEAN, Australia, Timor Timur, Selandia
Baru dan Papua Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan
kemungkinan kerjasama antar kelompok agama berbeda di dalam meminimalkan
konflik antar agama di Indonesia.
C. POTENSI
KONFLIK
Salah satu agenda besar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjaga
persatuan, kessatuan bangsa dan integerasi umat beragama dalam membangun
perdamaian dan kesejahteraan hidup bersama. Hambatan yang cukup berat untuk
mewujudkan kearah tersebut adalah masalah kerukunan nasional, termasuk
didalamnya hubungan antar umat beragama yang harmonis dan integeratif.
Persoalan ini semakin krusial karena terdapat serangkaian kondisi sosial yang
menyuburkan konflik, sehinggaterganggu kebersamaan dalam membangun peradaban
universal. Demikan pula kebanggan terhadap kerukunan dirasakan selama
bertahun-tahun mengalami degradasi, bahkan menimbulkan kecemasan terjadinya
disintegerasi bangsa[6]. Biarpun pemerintah tengah berjuang
untuk menghadapi ketegangan antar internal maupun antar umat beragama namun
kita tidak bisa menutup mata bahawa potensi konflik yang menyulut hal tersebut
dapat terjadi selalu ada disekitar kita. Adapun beberapa potensi konflik yang
menjadi faktor ketidaak harmonisan dalam beragama dinataranya adalah :
1. Faktor
Politik.
Faktor Politik adalah faktor yang paling sering muncul dalam berbagai
masalah konflik yag berbau SARA terutama konflik yang bermuatan agama. Faktor
ini sangat dominan sebab terjadinya kerusuhan sosial di berbagai daerah di
negeri ini selalu disertai dengan kepentingan politik kalangan tertentu,
terlepas dari beragam analisis yang ada selalu saja ada pihak yang
berkepentingan yang selalu mengambil keuntunagan dari kondisi yang terjadi.
Hal ini sangat dimungkinkan sekali mengingat bahawa ketika kita berbicara
tentang agama, maka sebenarnya kita tengah mendiskusikan hal yang paling
sensitif yakni masalah keyakinan yang rentan akan konflik. Maka dari itu
konflik agama tidak jarang dimanfaaatkan segelintir pihak untuk menjadikanya
sebagai pengalihan isu yang ada atau mendaptkan keuntungan tertentu.
Contoh kasus yaitu adalah kasus tragedi syiah disampang jawa timur bila
kita amtai kronologis tragedi tersebut sangat kental dengan nuansa politik.
Sebenarnya kasus ini karena persoalan keluarga, bukan karena paham agama. Akan
tetapi, pada akhirnya konflik keluarga itu lalu berubah bernuansa SARA bermula
dari kalangan masyarakat tersebar isu bahwa paham yang dianut oleh Ustadz Tajul
Muluk merupakan ajaran Islam sesat. Jadi ada semacam perebutan pengaruh pada
masyarakat antara Ustadz Tajul dengan Kiai Rois yang sebenarnya mereka itu
masih bersaudara.
Di Desa Karang Gayam sendiri, penganut aliran Syiah sebenarnya sangat
sedikit. Aliran Islam ini masuk ke Sampang sekitar tahun 2007, saat Ustat Tajul
Muluk kembali pulang kampung setelah belajar di salah satu pesantren aliran
Syiah di Pasuruan.
Ketika itu ia merupakan warga satu-satunya di Desa Karang Gayam, Kecamatan Ombem, yang menganut aliran Islam Syiah. Akan tetapi, lama kelamaan Ustadz Tajul banyak memiliki pengikut hingga akhirnya mencapai sekitar 100 orang lebih. Bahkan banyak santri mengaji saudaranya Kiai Rois yang pindah belajar agama terhadap Ustadz Tajul Muluk.
Ketika itu ia merupakan warga satu-satunya di Desa Karang Gayam, Kecamatan Ombem, yang menganut aliran Islam Syiah. Akan tetapi, lama kelamaan Ustadz Tajul banyak memiliki pengikut hingga akhirnya mencapai sekitar 100 orang lebih. Bahkan banyak santri mengaji saudaranya Kiai Rois yang pindah belajar agama terhadap Ustadz Tajul Muluk.
Dari perseteruan itulah lalu timbul isu di kalangan masyarakat bahwa Islam
yang dianut oleh Ustadz Tajul ini adalah aliran Islam yang sesat. Padahal Islam
Syiah bukan masuk kategori aliran Islam sesat," yang berujung pada tragedi
sampang. Akibat insiden tersebut, setidaknya terdapat 37 rumah milik pengikut
Syiah hangus dibakar warga hingga rata dengan tanah serta beberapa orang
mengalami luka-luka, dan dua orang tewas.[7]
dari contoh kasus yang ada tersebut bisa kita lihat bahwa banyak sekali konflik yang berbau SARA dindonesia terutama konflik agama tidak terlepas dari faktor politik yang ada.
dari contoh kasus yang ada tersebut bisa kita lihat bahwa banyak sekali konflik yang berbau SARA dindonesia terutama konflik agama tidak terlepas dari faktor politik yang ada.
2. Faktor
Ekonomi
Faktor ekonomi menjadi faktor yang cukup jelas sebagai pemicu potensi
konflik agama, karena seperti yang kita tahu kesenjangan antara si kaya dan
simiskin menjadi jurang pemisah yang cukup dalam untuk menjerumuskan seseorang
tersesat dalam pilihan hidupnya, sehingga menagkibatkan gesekan yang sangat
prinsipil sekali seperti dalam hal keyakinan seseorang. Dibeberapa kasus bisa
kita lihat bahwa faktor ekonomi menjadi faktor penting terjadinya sebuah
konflik
Sebagai contoh dengan dalil membantu orang miskin, sebuah kelompok
memberikan bantuan bahan makanan dan obat-obatan. Tetapi bantuan ini disertai
dengan paksaan terhada orang miskin utuk memeluk agam tertentu. Banyak contoh
dapat dikemukakan tentang kegiatan bujukan golongan kristen katolik kepada
pemeluk islam yang lemah dan bodoh seperti kasus di desa cigugur kuningan yang
menjadikan para petani sebagai sasaranya, para petani itu dibantu bulgur 15 kg,
tetapi dengan imbalan harus membubuhkan tanda tangan dalam formulir keanggotaan
petani pancasila, ormas tani katolik. Hal yang sama terjadi di surabaya (jawa
timur) ketika terjadi banjir diwilayah ini, PATI (jawa tengah) pulau banada dan
berbagai daerah lainya. [8]
3.
Faktor Hukum
Dalam hal ini faktor lemahnya hukum juga bisa menjadi faktor penyebab
pemicu potensi konflik agama, karena apabila hukum tidak ditegakkan dengan baik
maka akan menimbulkan masalah yang lebih membahayakan dan akan menimbulkan
potensi konflik dalam agama. Sebagai contoh yaitu, Perusakan rumah ibadat dan
sarana-sarana sosial milik kristen/kaatolik yang dilakukan umat islam maupun
sebaliknya seluruhnya merupakan reaksi atas apa yang mereka pandang tidak selayaknya
dilakukan terhadap diri mereka. Artinya tidak ada satupun perusakan yang tidak
didahului oleh kasus tertentu yang membuat mereka melakukan perusakan.
Pelemparan batu terhadap beberapa gereja di makassar misalnya, didahului oleh
penghinaan seorang pendeta terhadap Nabi Muhamad SAW. Kalau bukan karen alaasan
tersebut, dapat dipastikan bahwa gereja atau saarana pelayanan sosial yang
mereka rusak, seperti dikatakan sebelumnya.
Akan
tetapi sebelum terjadi perusakan, umat islam ditempat tersebut selalu
menyampaikan keberatanya kepada aparat setempat. Bahkan dalam kasus makasar
berkaitan dengan kasus penghinaan Nabi Muhamad SAW itu pun mereka telah
terlebih dahulu mendatangi pendeta yang bersangkutaan, dan memintanya untuk
menyampaaikan permohonan maaf kepada umat islam. Tetapi permintaan tersebut
tidak dihiraukan. Karena itu mereka mereka mendatangi pihak yang berwenang
untuk mengambil tindakan. Sayangnya ketika umat islam yang gelisah mengahadapi
semuanya itu melaporkanya kepada pihak-pihak yang mereka anggap berwenang
menangani maslaha tersebut mereka tidak mendapatkan jaawaban yang memuaskan.
Sikap seperti ini membuat umat islam dihinggapi feel of powerlessness,
suatu perasaa tidaak berdaya seolah-olah tidak ada perlindungan dan jaminan
hukum terhadap kepentingan (keyakinan) meeka dari pelanggaran golongan lain.
Dan apabila perasaan tidak berdaya itu timbul, maka umat isalm itu akan
mengambil tindakan-tindakan yang bersifat fisik dalam bentuk perusakan gereja.[9]
Pemerintahh
sendiri sulit mengambil tindakan terhadap apa yang dilakukan oleh penganut
agama kristen/katolik yang oleh umat islam dipandang sebagai “pelanggaran”
teersebut. Sebab, hingg saat ini belum ada undang-undang atau peraturan dan
ketetapan yangg mengatur semuanya ittu. Artinya membangun tempat ibadah oleh
pemeluk agama tetentu, ditempat atau wilayah yang disitu tidak ada jemaatnya,
sama sekali tidak ada aturan yang melarangnya. Dengan demimkian, dari segi
hukum, pembangunan tempat ibadah seperti itu, tidak dianggap sebagai sebuah
pelanggaran, sehingga tidak ada pula sangsi hukumnya. Tiadanya kepastian hukum
seperti inilah yang agaknya yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok agama
tertentu untuk membangun tempat-tempat ibadah diwilayah yang tidak ada
jemaatnya itu. Maka dari itu disaat seperti inilah peran pemerintah sangat
penting untuk menjembatani masalah yang terjadi sehingga mampu menyelesaikan
masalah yang terjadi.
4. Faktor
Budaya /Lokalitas Dan Etnisitas.
Faktor ini terutama muncul sebagai akibat dari migrasi penduduk, baik dari
desa ke kota maupun antar pulau. Selanjutnya masalah etnisitas, Indonesia
memiliki potensi disintegratif yang tinggi sebab terdiri dari 300 kelompok
etnis yang berbeda-beda dan berbicara lebih dari 250 bahasa. Faktor ini akan
menjadi pemicu dengan menguatnya etnisitas seperti penduduk asli atau putra
daerah dan pendatang yang dengan mudah dapat menyulut perbedaan-perbedaan yang
tak jarang berujung pada konflik, bahkan kerusuhan sosial. Faktor lokalitas dan
etnistas yang intens ini akan mengakibatkan gesekan religius
Contoh kasus
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial,
namun proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa orde baru. Hal
itu terjadi sejak dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan pembangunan
berbagai pelabuhan laut dan udara yang semakin memudahkan perpindahan penduduk.
Tanpa disadari proses pembangunan ekonomi di Poso membawa dampak bagi orang
Kristen setempat yakni proses Islamisasi yang cepat dan kesenjangan ekonomi.
Keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan banyaknya angka pengangguran kaum
terpelajar karena sempitnya atau langkanya lapangan konflik yang sesuai dengan
pendidikan yang pernah ditempuh. Akibat urbanisasi dan kesenjangan ekonomi,
politik dan budaya antara umat beragama ini menyebabkan perubahan pola-pola
hubungan antar umat beragama terutama antara Muslim dan Kristiani.
Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan masyarakat ke arah
modernisasi sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional yang masih kuat
dengan nilai-nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik nilai tersebut
berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan dapat mendorong masyarakat
ke proses desintegrasi alienasi, disorienttasi, disorganisasi, segmentasi dan
lain sebagainya. Umat Islam yang hidup di Poso tidak rela dan tidak senang
kalau melihat pemuda-pemuda Kristen yang minum-minuman keras serta
mabuk-mabukan di jalan, apalagi di bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu sasaran
pengrusakan atau amuk massa Islam tatkala gagal mencari pemuda Kristen yang
memukul pemuda Islam di masjid adalah Toko Lima, tempat penjualan minuman keras
terbesar di Poso. Peristiwa inilah merupakan awal mula bentrok fisik antara
massa Islam dan Kristen. Peristiwa hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah
yang merupakan pelampiasan emosi keagamaan antara Islam dan Kristen yang
berpangkal pada perbedaan dan kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas
tersebut.[10]
5. Faktor agama itu sendiri yang meliputi :
Adapun faktor berikutnya adalah faktor yang bersumber dari agama itu
sendiri baik secara internal maupun eksternal. Faktor yang bersumber dari agama
secara tidak langsung sebenarnya yang paling bertanggung jawab dalam
mempengaruhi kepribadian dan pola pandang seseorang dalam melihat suatu masalah
oleh karena itu, potensi konflik yang muncul karena persoalan agama biasanya
dipicu oleh kurangnya pemahaman yang baik dalam melihat persoalan agama dan
bagaimana seharusnya tindakan yang diambil terkait konflik agama tersebut serta
bagaiamana cara penyelesaianya. Adapun beberapa potensi konflik yang muncul dan
sering terjadi karena faktor agama dapat dijabarkan sebagai berikut.:
a) Pendirian
rumah ibadah. Yaitu apabila dalam mendirikannya tidak
memperhatikan situasi dan kondisi umat beragama baik secara sosial maupun
budaya masyarakat setempat.
b) Penyiaran
agama. Apabila dalam penyiarannya bersifat agitasi dan memaksakan
kehendak bahwa agamanya sendirilah yang paling benar dan tidak mau memahami
kebenaran agama lain. Apalagi kalau penyiaran agama itu ditujukan kepada orang
yang sudah beragama.
c) Bantuan
luar negeri. Walaupun kelihatannya tidak langsung mempengaruhi, namun bantuan
tersebut dapat juga memicu konflik baik intern maupun antar agama, karena
pemberi bantuan biasanya menitipkan misi tertentu yang harus dilaksanakan.
d) Perkawinan
beda agama. Perkawinan beda agama akan mengakibatkan hubungan yang tidak
harmonis, apalagi jika menyangkut hukum perkawinan, warisan, harta benda, dan
akidah.
e) Perayaan hari besar
keagamaan. Apabila perayaan tersebut dilaksanakan tanpa mempertimbangkan
situasi, kondisi, dan lokasi masyarakat sekitar, ia juga bisa mamancing
ketegangan dengan penganut agama lain.
f) Penodaan
agama. Yaitu suatu perbuatan bersifat melecehkan atau menodai doktrin suatu
agama tertentu. Tindakan ini sangat sering terjadi baik dilakukan oleh
perorangan maupun kelompok tanpa disadari apalagi dengan sengaja.
g) Kegiatan
aliran sempalan. Adalah suatu kegiatan yang menyimpang dari doktrin agama yang
sudah diyakini kebenarannya ataupun kegiatan tersebut merupakan suatu aliran
baru.
Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab konflik, maka masing-masing
penganut agama akan berupaya sekuat tenaga menghindarinya sehingga mencegah
sedini mungkin terjadinya konflik tersebut. Tindakan ini disebut dengan
pencegahan konflik. Namun apabila terlanjur terjadi konflik, Harus diakhiri
perilaku kekerasan dan anarkis, di dalamnya melalui persetujuan perdamain. Ini
disebut penyelesaian konflik. Ada juga yang dinamakan dengan pengelolaan
konflik, yaitu membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perilaku
perubahan yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Kemudian ada lagi
resolusi konflik, yaitu menangani sebab-sebab konflik diantara
kelompok-kelompok yang bertikai dan berusaha membangun hubungan baru dan
bertahan lama. Lalu yang terakhir adalah transformasi konflik, yaitu mengatasi
sumber-sumber konflik yang lebih luas dan berusaha merubahnya ke arah positif.
Demikian juga dengan mengetahui akar konflik kita tidak mudah terjebak pada
rumusan bahwa pertikaian yang terjadi saat ini dikatakan sebagai konflik agama
semata-mata. Tanpa mengurangi objektivitas bahwa agama memang mudah dijadikan
sumber konflik, karena ikatan emosional yang menyangkut identitas keagamaannya
tersebut sesungguhnya yang terjadi di Indonesia tidaklah murni konflik agama,
tetapi konflik laten, yakni manifestasi dari ketidakpuasan terhadap kebijakan
pemerintaham masa lalu yang menindas masyarakat dalam bidang politik, ekonomi
dan budaya yang dijadikan alat pemicu, rekayasa politik dalam level lokal
maupun nasional.
Agenda membina kerukunan. Patut disadari bahwa kondisi masyarakat yang
majemuk kapan saja dapat memicu terjadinya konflik. Untuk itu perlu senantiasa
membangun, mempertahankan, memperkuat dan melestariakan kerukunan umat beragama
dengan berupaya melakukan beberapa program atau agenda penting. Diantaranya
adalah rekonsialisasi (islah) nasional dan pemberdayaan forum kerukunan umat
beragama.
Seperti diketahui bahwa kerapnya terjadi konflik yang bernuansa sara di
beberapa wilayah Indonesia beberapa tahun lalu sedikit banyak telah
mempengaruhi situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat, sehingga
dikhawatirkan antara kelompok agama akan diliputi perasaan tidak aman dan tidak
nyaman. Dengan demikian makin jelas dan mendesak, pentingnya untuk merajut kembali
persaudaraan kemanusiaan dan persaudaraan kebangsaan guna merekatkan kembali
persatuan dan kesatuan bangsa. Gagasan untuk melakukan rekonsiliasi, rujuk,
atau islah nasional adalah suatu tindakan tepat dan bijaksana yang sangat
diharapkan oleh masyarakat.
D. KEBIJAKAN
PEMERINTAH DALAM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah merupakan upaya bersama antara
umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan
umat beragama. Untuk itu ada tiga pilar utama yang harus menjadi perhatian agar
kerukunan tersebut dapat terwujud dalam masyarakat yang multikultural dan
plural seperti Indonesia.
1. Pertama,
adanya para pengambil kebijakan publik yang adil dan mampu mengantisipasi
dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh kebijakan publik tersebut terhadap
kerukunan beragama.
2. Kedua,
adanya para pemimpin agama yang berwawasan kebangsaan yang luas dan lebih
mengedepankan agama sebagai nilai daripada agama institusional.
3. Ketiga,
adanya masyarakat yang berpendidikan dan bersikap rasional dalam menyikapi
keragaman keagamaan dan perubahan sosial
Karena itu untuk mewujudkan kerukunan tersebut negara membuat
undang-undang dan peraturan tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama. Salah
satunya yang sangat signifikan adalah Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 yang mengatur
tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat
beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadat.
E. UPAYA
PENCEGAHAN KONFLIK ANTAR UMMAT BERAGAMA
Untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya konflik sosial atau konflik
antar ummat beragama maka dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan sebagai
berikut :
1. Meningkatkan
tarap hidup masyarakat yang dibarengi dengan perbaikan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, sebab dalam
kenyataannya konflik yang terjadi di Indonesia pada dasarnya adalah disebabkan
faktor ekonomi dan politik, bukan faktor agama itu sendiri, namun agama dipakai
sebagai alat justifikasi dan legitimasi.
2. Melakukan
sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan
agama-agama (bukan ajaran/doktrin agama) kepada masyarakat sehingga masyarakat
mengetahui secara pasti tentang tata caranya seperti tata cara pendirian rumah
ibadah, tata cara penyiaran agama, tata cara penerimaan bantuan luar negeri
untuk kepentingan agama dan lain-lain sebagainya.
3. Menguatkan
kesadaran masyarakat tentang saling memahami dan menghormati posisi
masing-masing dan mengedepankan persamaan daripada mempertajam perbedaan.
4. Melakukan
sosialisasi kepada masyarakat bahwa sesungguhnya agama itu adalah berasal dari
yang satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan ummat manusia itu juga adalah berasal
dari nenek yang satu yaitu Nabi Adam as.
5. Memberdayakan
institusi keagamaan sehingga dapat lebih mempererat institusi persaudaraan dan
memperekat kerukunan antar ummat beragama.
6. Melayani
dan menyediakan kemudahan beribadah bagi para penganut agama dan tidak
mencampuri urusan akidah / dogma dan ibadah sesuatu agama serta melindungi
agama dari penyalahgunaan dan penodaan.
7. Mengembangkan
wawasan multi kultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur
pendidikan, penyuluhan dan riset aksi.
8. Mendorong,
memfasilitasi dan mengembangkan terciptanya dialog kerjasama antar pimpinan
majelis-majelis dan organisasi keagamaan dalam rangka untuk membangun toleransi
dan kerukunan antar ummat beragama.
9. Fungsionalisasi pranata lokal seperti adat
istiadat, tradisi dan norma-norma sosial (budaya melayu) yang mendukung upaya
kerukunan ummat beragama.
10. Melakukan penegakan
hukum (Law Enforcement) terhadap oknum-oknum yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhadap oknum-oknum
yang terlibat dalam kerusuhan sosial dan konflik antar ummat beragama.[11]
BAB III
KESIMPULAN
Keanekaragaman agama dan budaya di Indonesia adalah dintara modal dasar
dalam mendukung pembangunan, namun sekaligus dapat menjadi penghambat. Apabila
perbedaan tersebut dikelola dengan baik, maka terciptalah kerukunan hidup dalam
masyarakat yang akan mendukung pembangunan nasional. Namun sebaliknya, apabila
salah mengelolanya justru akan menghambat kelancaran pembangunan nasional.
Konflik agama tidak hanya sekedar berlandaskan keyakinan akan Tuhan. Akan
tetapi, di dalamnya terdapat pula aspek-aspek lain yang dapat memicu terjadinya
konflik. Aspek-aspek tersebut mencakup politik, sosial budaya, sosial ekonomi,
serta struktural yang ada. Oleh karena itu, masyarakat diakatakan dewasa dan
berkepribadian diukur dari bagaimana menyelesaikan konflik yang terjadi tanpa
menimbulkan dampak yang destruktif.
Disamping itu perlu disadari bahwa potensi terjadinya konflik di dalam
agama sama sekali ttidak bisa dihilangkan, karena bagaimanapun juga potensi
tersebut akan tetap ada disekitar kita selama sentimen dan fanatisme agama
tidak bisa dihilangkan, dan tugas bagi kita bersamalah agar konflik didalm
agama itu sendiri tidak terjadi dan menjadikan perpecahan.
DAFTAR PUSTAKA
·
Ahmadi, Abu. 1984. Sejarah Agama. Solo : CV. Ramadhani
1984.
·
Arifinsyah, Dialog Global Antar Agama,
Membangun Budaya Damai Dalam Kemajemukan. Bandung: Cita Pustaka Media
Perintis 2009
·
Departemen Agama (Muh. Nahar Nahrawi), Konflik
Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003),
·
Muhammad,Afif. Agama Dan Konflik Sosial Studi
Pengalaman Indonesia. Bandung: Marja. 2013
·
Natsir, M. Mencari Modus Vivendi Antar Umaat
Beragama Di Indonesia. Jakarta : Media Dakwah. 1980.
· Saadi, Zainut Tauhid
“Fungsionalisai Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama,” dalam Ridwan Lubis
: Meretas Wawasan Dan Praksis Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia (Cet.
I; Jakarta, Puslitbang Kehidupan Umat Beragama) hlm 99-100
[4] Afif muhammad, Agama
Dan Konflik Sosial Studi Pengalaman Indonesia. Bandung: Marja. 2013
Hlm 121
[5] Zainut Tauhid Saadi, “Fungsionalisai Wadah Musyawarah Antar Umat
Beragama,” dalam Ridwan Lubis : Meretas Wawasan Dan Praksis Kerukunan
Umat Beragama Di Indonesia (Cet. I; Jakarta, Puslitbang Kehidupan Umat
Beragama) hlm 99-100
[6] Arifinsyah, Dialog
Global Antar Agama, Membangun Budaya Damai Dalam Kemajemukan. Bandung: Cita
Pustaka Media Perintis 2009 Hlm 204
[7]http://www.antarajatim.com/lihat/berita/69112/kapolres-sampang-kasus-syiah-karena-faktor-sentimen
[8] Afif muhammad, Agama
Dan Konflik Sosial Studi Pengalaman Indonesia. Bandung: Marja. 2013
Hlm 115
[9] Natsir, Mencari Modus
Vivendi Antar Umaat Beragama Di Indonesia. Jakarta : Media Dakwah.
1980, Hlm 23
[10] Departemen Agama (Muh. Nahar Nahrawi), Konflik
Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar