PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH
A. Biografi Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh termasuk pembaharu agama dan sosial di Mesir pada zaman modern juga
dianggap sebagai arsitek modernis Islam. Dialah penganjur yang sukses dalam
membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern.
Walaupun pada saat itu dia diserang oleh oranng- orang yang memandang bahwa
pembaharuan dan pendapat-pendapatnya membahayakan kaum muslimin.[1]
Dia
yakin bahwa apabila al-Ahar diperbaiki , kondisi kaum Muslimin akan membaik,
Menurutnya, apabila al-Azhar diperbaiki, pembenahan administrasi dan
pendidikan di dalamnya pun harus dibenahi, kurikulumnya diperluas, mencakup
sebagian ilmu-ilmu modern, sehingga al-Azhardapat berdiri sejajar dengan
universitas-universitas lain di Eropa serta menjadi mercusuar dan pelita bagi
kaum Muslim pada zaman modern. Menurutnya, ada dua pilihan untuk al-Azhar : maju atau hancur sama sekali.
Namun, pada waktu itu dia gagal meyakinkan pemuka al-Azhar dan tokoh-tokoh lainnya untuk
melakukan perbaikan terhadap al-Azhar. Lalu dia berusaha memperoleh
dukungan al-Khudaywi untuk merestui rencananya. Namun dia gagal juga.
Ketika Abbas Hilmi naik kepentas kekuasaan, dia mengeluarkan keputusan untuk
membentuk sebuah panitia yang mengatur al-Azhar.
Muhammad
Abduh lahir pada tahun 1849 M/ 1265 H disebuah desa Mahallat
Nashr, di Provinsi Gharbiyyah Mesir Hilir. Ayahnya
bernama Hasan Khairullah. Abduh lahir dillingkungan keluarga petani
yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal
dari kota Mahallat Nashr.[2] Ayahnya bukan seorang bangsawan yang kaya
tetapi cukup berwibawa dan terhormat. Ibunya keturunan Arab yang silsilah
sampai kepada Umar ibnu Khathab.
Mereka tinggal dan menetap di Mahallat Nasr.Muhammad Abduh
dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa
keagamaan yang teguh.[3]
Sebagaimana
pada umumnya keluarga Islam, Pendidikn agama pertama didapat dari lingkungan
keluarga. Adalah sang ayah, Abduh Khairallah, yang pertama menyentuh Abduh di
arena pendidikan. Ayahnya mengajarkan baca tulis, dan menghafal Al-Quran. Allah
memberikan kecerdasan kepada Abduh. Ini terbukti dalam tempo
kurang dalam jangka 12 tahun. Ia telah menghafal seluruh
ayat Al-Qur’an. Kemudian pada usia 14 tahun ia dikirim ayahnya ke
Tantha untuk belajar lebih dalam lagi bertepatan di mesjid al-Ahmadi
fikih.
Di
tempat ini ia mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak puas, bahkan
membawanya pada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu. Ia tidak puas dengan
metode pengajaran yang diterapkan yang mementingkan hafalan tanpa pengertian
bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan waktu
menghafal istilah-istilah nahu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga ia
kembali ke Mahallat nashr ( kampungnya ) dan hidup sebagai petani serta
melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun.[4]
Keputusan
Muhammad Abduh untuk meninggalkan dunia pendidikan tidak disetujui oleh
orangtuanya. Maka dengan terpaksa ia kembali ke Thanta sekitar 40 hari setelah
pernikahannya. Namun, dalam di tengah perjalanannya ia merubah arah
tujuannya. Ia bukannya ke Thanta, melainkan ke sebuah Desa yang
bernama Kanisah Urin, di sana tinggal pamannya yang bernama Syekh Darwisy
Khadr. Syekh Darwiys Khadr adalah seorang alim yang banyak melakukan perjalanan
ke luar Mesir, belajar berbagai macam ilmu agama, dan sangat perhatian dengan
bidang tafsir Al-Qur’an.
Darwisy Khadr berhasil memotivasi Muhammad Abduh kembali membaca buku. Ia
berusaha membantu Muhammad Abduh memahami apa-apa yang dibaacanya. Atas bantuan
pamannya itu terutama yang berkaitan dengan tasawuf.[5] Ia akhirnya mengerti apa yang
diajarkan oleh pamannya. Sejak saat itulah minat bacanya mulai tumbuh dan ia
berusaha membaca buku-buku secara mendiri. Istilah-istilah yang tidak
dipahaminya ia tanyakan kepada Darwisy Khadr. Dengan demikian dapatlah
ditegaskan bahwa sebab utama ia meninggalkan pelajaran pada waktu
sebelumnya adalah karena rendahnya minat untuk belajar. [6]
Setelah
merasa cukup Abduh kembali melanjutkan perjalanannya menuntul ilmu menuju
Kairo, guna menempuh pendidikan di al-Azhar. Di sini pun Abduh kembali kecewa
karena metode pelajarannya sama yang ia dapatkan sewaktu ia belajar di Tantha,
maka iapun mencari guru di luar al-Azhar, dari sinilah Abduh belajar non agama
yang tidak ia dapatkan di al-Azhar. Antara lain, filsafat, matematika, dan
logika ia mendapatkan ilmu-ilmu tersebut dari Sekh Hasan at- Tawil.
Abduh
meniggal pada usia lima puluhan. Oposisi sengit terhadapnya dari lawan akademis
maupun lawan legalnya merupakan bukti betapa besar pengaruhnya dan betapa tajam
visinya tentang Islam yang baru. Gagasan-gagasannya terus tersebar luas melalui
jurnal berpengaruh, al- Manar. Namun, tidak ada muridnya yang mencapai
ketinggian ilmunya. Kemudian, muncul berbagai reaksi negatif terhadap
warisannya, tak lama sesudah ia meninggal. Dalam jangka panjang, dia
melambangkan suatu modernis yang berkembang dan membuka cakrawala pandang yang
segar. Akan tetapi, dia juga meninggalkan banyak isu yang tak terselesaikan.[7]
B. Ide-ide Pembaharuan Muhammad
Abduh
Suatu
realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa Muhammad Abduh mewariskan ide-ide
pembaharuan yang amat berpengaruh keseluruh dunia Islam.
Tentang ideide pembaharuannya, para
sarjana berbeda dalam mengklasifikasikan. Ide-ide tersebut oleh H.A.R. Gibb,
dirangkum dalam empat kegiatan utama,[8] yaitu:
1. Pembersihan Islam dari bid’ah
2. Pembaharuan pendidikan al-Azhar
3. Perumusan kembali ajaran Islam sejati
dengan pemikiran modern.
4. Pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh
Eropa dan serangan-serangan Kristen.
Sementara
itu, Harun Nasution mengungkapkan adanya enam ide pembaharuan yang di
kedepankan oeh Muhammad Abduh,[9] yaitu:
1. Membongkar Kejumudan
Jumud
mengandung arti kestatisan, tiadanya perubahan dan pembekuan, Ummat Islam harus
dihindarkan dari kenbekuan tersebut, dan mau menerima perubahan tersebut, dan
mau menerima perubahan serta bisa mengkritisi tradisi yang ada. Muhammad Abduh
sangat menentang taqlid yang dipandangnya sebagai faktor yang melemahkan jiwa
kaum muslimin. Pandangan Muhammad Abduh tentang perlunya upaya pembongkaran
kejumudan yang telah sedemikian lama mengalami pengerakan tersebut akan
melahirkan ide tentang perlunya melaksanakan ijtihad. Ia berpendapat bahwa
sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah bukan karena ajaran Islam itu sendiri,
melainkan adanya sikap jumud di tubuh umat Islam. sehingga umat tidak mau
menerima peubahan, yang dengannya membawa bibit kepada kemunduran ummat saat
ini.
Muhammad
Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan paham taklid. Sikap
ulama ini kata Muhammad ‘Abduh membuat umat Islam berhenti berfikir dan akal
mereka berkarat. Sikap umat Islam yang berpegang teguh yang pada pendapat ulama
klasik, dipandang Muhammad Abduh berlainan betul dengan sikap umat Islam
terdahulu. Al-Qur’an dan Hadis, katanya melarang umat Islam
bersifat taqlid.[10]
Tujuan
Muhammad ‘Abduh dalam menegaskan kembali Islam yang sebenarnya; yaitu untuk membebaskan
pikiran dari kungkungan taqlid, dan memahami agama seperti yang dipahami oleh
para pemimpin umat sebelum perselisihan muncul; untuk mengembalikan pada
pencapaian pengetahuan agama menuju sumber-sumber pertamanya, dan menimbang
sumber-sumber itu pada skala-skala nalar manusia, yang telah Tuhan ciptakan
guna mencegah perbuatan yang berlebihann atau menyimpag dalam agama, sehingga
kebijaksanaan Tuhan dapat terlaksana dan tatanan kehidupan manusia terpelihara;
dan untuk membuktikan bahwadilihat dari sudut pandang ini Agama
adalah sehebat ilmu pengetahuan, mendorong manusia untuk melakukan penyelidikan
tentang rahasia kehidupan, menyerukan kepada manusia untuk menghormati
kebenaran yang telah ditetapkan, dan menjadikan kebenaran-kebenaran itu sebagai
landasan bagi kehidupan moral dan prilakunya.[11]
2. Perlunya Ijtihad
Sejak abad ke 4 H, ummat Islam meyakini
bahwa pintu Ijtihad telah tertutup, kenyataan ini tetap berlangsung dalam kurun
waktu yang agak lama, hingga masa Muhammad Abduh. Ia menyadari bahwa masyarakat
dari masa kemasa akan selalu berkembang di dunia dengan perkembangan zaman ,
tentu saja ia tidak menerima kalau pintu ijtihad ditutup. Abduh mengatakan
pintu ijtihad harus selamanya dibuka. [12]Selanjutnya, menurut ‘Abduh, untuk orang
yang telah memenuhi syarat ijtihad di bidang muamalah dan hukum kemasyarakatan bisa didasarkan
langsung pada Quran dan hadis dan disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah
tidak menghendaki perubahan menurut zaman.
Taklid
buta pada ulama terdahulu tidak perlu dipertahankan, bahkan Abduh memeranginya.
Karena taklid di bidang muamalah menghentikan pikir dan akal
berkarat. Taklid menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan
masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan sebagainya.Pendapatnya tentang
dibukanya pintu ijtihad bukan semata-mata pada hati tetapi pada akal. Qur'an
memberikan kedudukan yang tinggi bagi akal. Islam, menurutnya adalah
agama rasional.[13] Mempergunakan akal adalah salah
satu dasar Islam. Iman seseorang takkan sempurna tanpa akal. Agama dan akal
yang pertama kali mengikat tali persaudaraan. Wahyu tidak dapat membawa hal-hal
yang bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat atau hadis bertentangan
dengan akal, maka harus dicari interpretasi yang membuat ayat dapat dipahami
secara rasional. Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban bangsa.
Sebenarnya, seruan Muhammad Abduh untuk terus membuka pintu Ijtihad tersebut
hanya melanjutkan apa yang telah dirintis oleh para pendahunya, syekh al-
Tahthawi, Syeikh Jamaluddin Al-Afgani dan lain-lain.
Bahwa
terbukanya pintu Ijtihad itu tidak berarti boleh dimasuki oleh siapa saja.
Menurut Muhammad Abduh, hanya orang-orang yang memenuhi persyaratan yang boleh berijitihad.
Dasar atau landasan ijitihad yang dipergunakan haruslah Al-Quran dan
Hadis-hadis Nabi, bukan pendapat-pendapat ulama yang selama ini ditaqlidi.
Sedangkan lapangan ijitihad adalah permasalahan muamalah, bukan ibadah.[14] Dengan dibukanya pintu
ijtihad tersebut, diharapkan perkembangan fiqih tidak mengalami
stagnasi, selanjutnya perlu dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.
3. Penggunaan Akal Pikiran
Pelaksanaan
Ijtihad, diakui atau tidak, tentu saja melakukan akal pikiran. Karenanya, akal
harus dibangunkan dari tidur lelapnya. Ini mengingat bahwa Allah menciptakan
manusia dengan fasilitas akalnya untuk menyiapkan diri menerima petunjuk-petunjuk
ilmu pengetahuan dan bukti-bukti dari peristiwa yang terjadi. Menurut Muhammad
Abduh, dalam Islam ada ajaran menjunjung tinggi akal. Tidak hanya
penghargaan atas akal yang dihidupkannya, tetapi juga perhatian-perhatian
terhadap kajian-kajian filsafat digalakkannya.[15] Maka tidak mengherankan mana kala
pemikiran filosofis mulai muncul kembali kepermukaan, setelah dalam waktu yang
relatif lama hilang dari dataran pemikiran ummat Islam.
4. Ilmu Pengetahuan Modern
Ilmu
pengetahuan modern yang datang dari barat, menurut Muhammad Abduh, tidaklah
bid’ah sebagaimana yang selama ini di yakini oleh ummat Islam. Ilmu pengetahuan
tersebut di dasarkan pada sunnatullah dan tidak bertentangan dengan Islam,
karena juga bersal dari Allah.
Selanjutnya
Muhammad Abduh menandaskan bahwa Islam bila dipahami dngan benar akan dapat
menerima segala bahasan ilmiah. Bahkan Islam, masih menurut Muhammad Abduh,
lebih dulu memiliki toleransi untuk dapat menerima ilmu pengetahuandaripada
Nasrani. Selain itu, Islam dianggap penyebab tegaknya semangat ilmiah di Eropa
pada Abad ke 16 M.
5. Perbaikan Pendidikan Modern di al-Azhar
Ide
pembaharuan pendidikan al- Azhar yang di inginkan Muhammad Abduh barangkali
muncul karena kondisi minim yang dilihatnya pada saat belajar di Universitas
tersebut. Ketika dia belajar di al- Azhar , dia tidak menemukan ilmu-ilmu
Fardhu Kifayah, sehingga untuk mendapatkannya dia harus mencari ilmu-ilmu
tersebut di luar al-Azhar. Lawatannya ke Eropa selama beberapa waktu dan
kejumudan yang dirasakannya di masjid Al-Ahmady, tanta waktu belajar, nampaknya
juga berperan dalam memunculkan ide pembaharuannya di al-Azhar. Baginya,
pembenahan di Al-Azhar sama halnya dengan membenahi kondisi ummat Islam secara
keseluruhan. Karena para mahasiswanya berasal dari seluruh penjuru
dunia.
Langkah-langkah
yang diambilnya dalam membanahi al-Azhar paling tidak berkisar pada beberapa
hal. Pertama, pembatasan kurikulum, kedua, ujian tahunan dengan memberikan
beasiswa bagi mahasiswa yang lulus. Ketiga , penyeleksian buku-buku yang baik
dan bermanfaat,. Keempat, tempo mata kuliah yang primer lebih panjang daripada
yang hanya sekunder. Kelima, penambahan mata kuliah-mata kuliah yang terkait
dengan ilmu penegtahuan modern.
Langkah-langkah
yang ditempuhnya dalam bidang administrasi adalah penentuan gaji yang layak
bagi ulama al-Azahar dan staf pengajar yang ada. Sarana prasarana yang
sebelumnya tidak ada pun dipriroritaskan.
Meski
tak disangkal bahwa pembahruan-pembaharuan yang ditempuh oleh Muhammad Abduh
tersebut banyak memberikan manfaat, tetapi itu bukan berarti tidak ada hambatan
sama sekali. Kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah pembaharuannya di al-Azhar
tersebut banyak ditentang oleh para ulama al-Azhar sendiri. Tak kurang juga,
Khadewi Abbas, penguasa Mesir pada saat itu, ikut menentang dan tidak merestui
apa yang ditempuhnya.[16]
Agar
lebih jelasnya Adapun pembaharuan-pembaharuan
yang dilakukan Muhammad Abduh untuk kemajuan al-Azhar adalah :
a) Menaikan gaji guru-guru atau dosen-dosen yang miskin
b) Membangun Ruaq Al-Azhar yaitu kebutuhan pemondokan bagi dosen-dosen dan mahasiswanya.
c) Mendirikan Dewan Administrasi Al-Azhar ( Idarah al-Azhar)
d) Memperbaiki kondisi perpustakaan yang sangat menyedihkan.
e) Mengangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syekh
al-Azhar.
f) Meengatur hari libur,dimana libur lebih pendek dan masa belajar lebih panjang.
g) Uraian pelajaran yang bertele-tele yang dikenal Syarah al-Hawasyi
diusahakan dihilangkan dan digantikan dengan metode pengajaran yang sesuai
dengan perkembangan zaman.
h) Menambahkan mata pelajaran Berhitung,Aljabar,Sejarah Islam,Bahasa dan
Sastra dan Prinsip-prinsip Geometri dan Geografi kedalam kurikulum al-Azhar.
6. Pemikiran Politik
Keterlibatan
Muhammad Abduh dalam kegiatan politik tentu saja tidak bisa dilepaskan begitu
saja dari peran besar gurunya ketika di Paris. Jamaluddin Al-Afgani, gurunya
tersebut, berperan besar dalam mematangkan kemampuan Muhammad Abduh dalam
kegiatan berpolitik. Tidak mengherankan manakala ketika masih aktif dalam dewan
legislatif Mesir, Muhammad Abduh banyak melontarkan
pemikiran-pemikiran politiknya. Menurutnya kekuasaan dari penyelenggaraan
Negara haruslah di batasi. Pemerintah harus siap terhadap setiap koreksi yang
dikemukakan oleh rakyat atas segala kekhilafan.
Pemikiran-pemikirannya
dalam bidang politik tersebut nampaknya berpengaruh besar dalam pentas politik
Mesir. Hal ini dapat dilihat ketika dia menapaki tangga ke anggotaan dewan
legislatif Mesir, dimana pemerintah tidak lagi mengacuhkan masukan-masukan
Majelis Syura.[17]
Menurut
Muh`ammad Abduh organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh
ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah
dalam komunitas. Kontribusi Muhammad Abduh untuk reformasi terlihat dalam
perannya sebagai ahli fikih dan Hakim Agama Senior (Mufti Agung). Dia memperluas ruang ijtihad, mengajarkan bahwa moralitas dan
hukum harus disesuaikan dengan kondisi modern demi kemaslahatan bersama. Islam
tidak mengenal otoritas final, selain otoritas Allah dan Nabi. Syari’at
menggariskan hak maupun batasan bagi otoritas tertinggi dalam Islam, seperti
penguasa, entah itu Khalifah ataupun Sultan. Peranan penguasa ini berbeda
dengan peran qadhi (hakim). Sultan melaksanakan apa yang diputuskan benar
dan adil oleh qadhi. Jika tak ada kekuasaan untuk melaksanakan keadilan
dan keputusan qadhi, maka tak ada kearifan dalam perundang-undangan. Penguasa
berhak untuk ditaati selama dia berpegang pada kebenaran Al-Qur’an danAl-Sunnah, namun tidak ada ketaatan kepada orang
yang durhaka terhadap Allah. Kaum muslimin berhak mengontrol dan terus menerus
menilai penguasa, juga menuntut pertanggungjawabannya. Jika ia menyimpang dari
jalan kebenaran, maka harus diganti. Ummat yang mengangkatnya, dan ummat punya
otoritas atas dirinya. Khalifah atau Sultan merupakan penguasa sipil yang
wilayahnya bukanlah teokrasi. Tugas kaum muslimin adalah memberi nasihat kepada
penguasa berdasar pada ajaran Islam seperti majelis
syura. Siap
atau tidaknya orang untuk menerapkan metode syura bukan ditentukan oleh terlatihnya
mereka dalam meneliti, berpikir atau terlatihnya mereka dalam prinsip-prinsip
berdebat, tetapi cukup dengan mengupayakan kebenaran dan adanya sistem yang
memperhatikan kepentingan publik.[18]
C. Karya-Karya Muhammad Abduh
Diantara beberapa karya Muhammad Abduh
antara lain:[19]
1) Risalah Tauhid
2) Syarah al-Bashair al- Nashiriyah Fil
Mantiq
3) Hasyiyah ‘ala Syarah al-Dawani Lil ‘Aqaid
al-Adudiyah.
4) Syarah Maqamat Badi’as Zaman al-Hamazani.
5) Al-Islam wan Nasraniah ma’al Ilmi wal-
Madaniyah.
6) Taqrir Fi Ishlahi al- Mahakim al-
Syar’iyah
Sedangkan
menurut Abd. Kholiq, S.Ag, M.H.I., [20] adapun karya-karya Muhammad Abduh
antara lain:
1) Al-Waridat, Karya pertamanya yang ditulis
ketika masih menjadi mahasiswa al-Azhar, berisi Ilmu Tauhid dari
sudut pandang tasawuf dan dijiwai pokok pikiran al- Afghani;
2) Wahdatul Wujud
3) Syarah Nahj al-balaghah, karya sastra yang
berisi ilmu Tauhid dan kebesaran Islam;
4) Falsafah al-Ijtima’i wa al- Tarikh,
ditulis ketia Abduh memberi kuliah di Dar al-Ulum, berisi tentang Filsafat
sejarah dan perkembangan masyarakat;
5) Syarh Bashairin Nashiriyah, tentang Ilmu
Mantiq yang telah dikuliahkan di al-Azhar dan diakui sebagai kitab terbaik
dibidangnya.
6) Risalah At-Tauhid, telah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia dan beredar luas ditengah-tengah masyarakat;
7) Al- Islam wa an- Nasraniah ma’al Ilmi wal-
Madaniyahn, tangkisan terhadap serangan mentri Luar Negri Prancis, Hanoyoux;
8) Tafsir Surah al-Ashr
9) Tafsir Jus-Amma
10) Tafsir Muhammad Abduh, Tafsir ini disusun
oleh Rasyid Ridha dari kuliah yang diberikan di al-Azhar dan baru juz 10 Abduh
wafat. Penafsiran kemudian dilanjutkan oleh Rasyid Ridha hingga juz ke 12, pada
mulanya Tafsir Muhammad Abduh tersebut dimuat berturut-turut dalam penerbitan
Majalah al-Manar,[21] kemudian dibukukan dan diberi nama
Tafsir al-Manar;[22]
11) Hasyiyah ‘ala Syarah al-Dawani Lil ‘Aqaid
al-Adudiyah.
12) Syarah Maqamat Badi’as Zaman al-Hamazani.
14) Durus Min al-Quran al-Karim.
D. Sistem
Teologi Modernis Muhammad Abduh
Berbicara
masalah Teologis Muhammad Abduh lebih cendrung berpahamkan teologis Mu’tazilah,
sejarah mencatat bahwa pengasingan Abduh sebagai Dosen di al-Azhar, bukan
berasal dari konfliknya dengan siswanya. Kebanyakan dari mereka malahan
tertarik dengan gaya dan metode penyelidikan intelektualnya yang dikendalian
oleh pencarian yang rasional terhadap makna teks, tapi malahan dari ulama yang
fanatik terhadap mazhab Ash’ary. Seorang guru besar al-Azhar yang sudah senior
dan reaksioner, Sekh Ulaysh menantang Abduh terang-terangan. Shekh Ulaysh
bertanya, “apakah beliau sudah melepaskan Ajaran Ash’ary untuk mengikuti ajaran
Mu’tazilah, Abduh Menjawab, “kalau saya melepaskan penerimaan yang buta taqlid
terhadap doktrin Ash ‘ariyah, kenapa saya harus menerima Mu’tazilah dengan
membabi buta?[24] Dalam jawaban ini maksud dari Abduh
adalah bahwa setiap muslim harus menghindari penekanan dogmatis terhadap apa
saja , termasuk Mu’tazilah dan akidah-akidah lainnya, walau pada hakikatnya
Abduh lebih cendrung memakai ajaran teologi Mu’tazilah.
Muhammad
Abduh menghabiskan waktunya di pengasingan tahun 1885 di Beirut. Untuk kembali
mengingat intelektualisme Mu’tazilah, dan kebebasan berpikir, Abduh pernah
berkatasaat dibeirut:
Beliau
mendapat keuntungan dari golongan orang biasa dari semua sekte dan bangsa,
sunni , Shiah, Kristen dan Yahudi yang datang kerumahnya untuk memberikan
tanggapan terhadap pandangannya tentang persoalan agama. Beliau memperlakukan
semua orang dengan kesopananyang tidak membeda-bedakan, tapi tidak pernah
mengatakan kecuali apa yang beliau yakini apakah sehubungan dengan agama,
pelajaran, adat, dan hubungan sosial. Beliau mendapat perhatian semua orang
karena pelajarannya, dan karena kepandaian retorikanya.[25]
Saat
beliau memberikan kuliah di Beirut tentang Teologi Islam (kalam) lalu
diterbitkan dengan judul Risalah Tauhid (Risalah tentang ke Esaan Tuhan), dalam
buka itu juga Abduh betul-betul merasakan kebutuhan untuk memulihkan kembali
Rasionalisme yang dulu diperjuangkan oleh mukallimun Mu’tazilah untuk menjadi
etos intelektual masyarakat Islam. Beliu nyata-nyatanya membela doktrin
Mu’tazilah tentang penciptaan Al-Quran, (Khalq Al-Quran). Abduh mengaskan juga bahwa
rasionalisme Islam yang inheren dan cocok dengan dan bahkan mengantisipasi ilmu
oengetahuan moderen. Mirip dengan apa yang dilakukan oleh Mutakalimun
Mu’tazilah dulu yang pada hakikatnya tujuan muhammad Abduh berpikir
dalam hal ini adalah agar ummat Muslim dapat mempertahankan Islam dari serangan
luar (Eropa dan Kristen).
E. Analisis Kristis Terhadap Pemikiran
Muhammad Abduh
Dalam
urusan-urusan keduniaan, seperti dalam urusan pertanian, pertukangan,
perindustrian , pengangkutan, perumahan, persekolahan, pelajaran dan pengajaran
, kebudayaan, kesenian, adat istiadat dan lain-lain sebagainya kita tentu
menerima modernisasinya dan bahkan menganjurkannya, selama sesuatu itu belum
ada peraturan-peraturan yang datang dari Kitabullah dan sunnah Rasul.
Karena
dalam hal ini Nabi kita pernah bersabda mengenai urusan dunia Nabi kita telah
memberi izin kepada kita bahwa soal keduniaan kita boleh mengerjakan apa yang
baik menurut kita. Beliau bersabda:
اَنْتُمْاَعْلَمُبِاَمْرِدُنْيَاكُمْ. رواهمسلم
Artinya : kamu lebih tahu
dari saya tentang urusan duniamu (H.R. Muslim).
Adapaun
dalam soal Keagamaan, soal syariat, soal ibadah, soal iqtiqad, tentunya kita
tolak bersama. Agama adalah dari Allah dan Rasulnya, kita wajib menerima apa
adanya, ya’ni sebagai mana yang di ajarkan Rasululah 14 abad yang lalu. Nabi
bersabda:
عُنْاَنَسٍرَضِىْاللهُعَنْهُقَالَ:
قَالَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَاِذَاكَانَشَىْءُمِنْاَمْرِدُنْيَاكُمْفَاَنْتُمْاَعَلَمُبِهِ،فَاِذَاكَانَمِنْاَمْرِدِيْنِكُمْفَاِلَىَ.
رواهاحمد
Artinya: Dari
anas bin Malik Rda, beliau bersabda, Rasulullah telah bersabda: Apabila ada
sesuatu urusan duniamu maka kamu yang yang lebih tahu, tetapi apabila dalam
urusan agamamu maka saya yang mengaturnya”.[26]
Modernis
pada hakikatnya adalah perubahan dan penukaran. Dulu rumah bambu sekarang rumah
batu, dulu dengan sepeda sekarang dengan pesawat udara, ulu dengan cangkul
sekarang dengan mesin. Ini semua adalah perubahan dan penukaran, bukan
perbaikan.
Ada
beberapa hal yang perlu dicermati dan ditelaah secara kritis dari konsep-konsep
pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh. Konsep-konsep
pembaharuan dan pemikiran yang perlu disikapi secara kritis itu antara lain;[27]
1. Rasionalitas atau kecenderungan Muhammad Abduh
menonjolkan akal dalam ijtihad maupun penafsiran Al-Qur’an terkesan agak
berlebihan. Hal demikian terlihat jelas antara lain dalam sikapnya ketika ia
menemukan pertentangan antara akal dengan apa yang diriwayatkan hadits, maka
akal yang harus didahulukan, padahal kemutlakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak diragukan lagi,
sebagimana diakui sendiri oleh Muhammad Abduh bahwa Islam tidak mengenal
otoritas final selain otoritas Allah dan Nabi. Kalau kita baca sejarah bahwa hampir semua
gembong-gembong modernisasi agama mengharamkan taqlid, tetapi menganjurkan atau
mewajibkan supaya seluruh rakyat berijitihad, taqlid bagi mereka dikutuk, sama
dengan mengutuk bidi’ah dan khurafat dan masalah ini adalah masalah pokok bagi
mereka, karena mereka mengartikan ijtihad “Pengeroksian” dan taqlid mereka artikan
dengan “mengikut bapak-bapak” atau “mengikut nenek moyang” atau “mengikut Kiyai
yang bersorban” atau membabi buta. Padahal ini semua pengertian-pengertian yang
sangat keliru, sehingga membuahkan pendapat-pendapat yang keliru.dapat kita
ketahui bahwa arti Ijitihad menurut ulama Usul Fiqih adalah “
Usaha seorang ahli Fiqih menggali dan mengeluarkan huku-hukum Fiqih yang
tersirat di dalam Quran dan Hadis”. Dan adapaun arti Taqliqd adalah “ mengikut
Imam-imam Mujutahid”
Dalam
hal ini KH. Sirajuddin Abbas memberikan contoh : [28]
Di
dalam Al-Quran Allah berfirman:[29]
Ÿxsù@à)s?!$yJçl°;7e$é&Ÿwur$yJèdöpk÷]s?@è%ur$yJßg©9Zwöqs%$VJƒÌŸ2
Artinya: Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.
Hukum
yang tersurat dalam ayat ini adalah :
a. Tidak boleh, haram, mengatakan “ah” kepada
ibu bapak
b. Tidak boleh, haram, membentak, kepada ibu
bapak.
Kalau
kita perhatikan ayat ini yang dilarang hanya mengatakan “ah” atau membentak” ,
tetapi memukul, menyepak, memaki, melukai, mencederai, mencaci dan lain
sebagainyayang tidak tersurat dan tidak tersebut dalam ayat ini. Lalu timbul
pertanyaan : Apa boleh menyepak ibu bapak? Apa boleh menendang mereka? Apa
boleh menempeleng mereka?
Imam-imam
mujutahid yang mengeluarkan hukum yang tersirat dari ayat ini, bahwa memukul,
menyepak, menendang dan lain-lain yang serupa itu adalah haram hukumnya. Hukum
yang tersirat dalam ayat ini digali oleh seorang ahli yang disebut Imam
Mujutahid. Usaha menggali itu dinamakan Ijitihad dan orang yang mengikuti fatwa
Imam mujutahid disebut Orang “taqlid”.
Tidak
sembarang orang bisa menggali hukum itu, yang dibolehkan hanyalah orang yang
ahli, yang expert. Ibarat menggali emas dari tanah , tidak sembarang orang
dapat melakukannya. Yang dapat melaksanakannya adalah orang –orang yang ahli
tambang yang mempunyai banyak alat-alat mekanis. Andaikata menggali emas
diserahkan kepada orang yang biasa pake cangkul, maka bukan emas yang dia dapat
, tetapi kunyit yang sama juga kuningnya dengan Emas.
Andai
kata diikuti aliran faham golongan Modernis, yaitu mewajibkan supaya seluruh
orang berijitihad, maka ternyatalah bahwa orang Islam ini Semua akan Berdosa,
karena mereka tidak melaksanakan ijitihad itu.
Bagaimana
bisa seorang buruh kereta api, yang kerjanya menjadi masinis dapat melakukan
ijitihad, bagaimana mungkin saudagar di Pasar bawah Atau di Pasar Kodim
Pekanbaru dapat melakukan ijitihad, sedang mereka tidak mengerti Quran dan
hadis, bagaima mungkin seorang kelasi di laut melaksanakan ijitihad, padahal ia
tak pernah belajar kitab “huruf Gundul” dan tak pernah membacanya.
Itulah
anjuran dari golongan orang-orangmodernisasi agama, yang dalam teorinya memang
baik, yang dalam bunyinya memang bagus, tatapi dalam prakteknya tak bisa
dikerjakan, kalau tidak akan dikatakan mustahil untuk dilaksanakan.
2. Dengan
semangat perlawanan terhadap hegemoni Barat dan keinginan mengikis habis
kejumudan yang terjadi di kalangan kaum muslimin, Muhammad Abduh mengajukan
konsep pembaharuan pendidikan yang mencakup pengembangan aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spiritual) untuk mencapai tujuan
pendidikan yang diinginkannya, yakni terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh,
yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki
kecerdasan spiritual. Agaknya dalam hal ini Muhammad Abduh melupakan satu lagi
aspek pendidikan, yaitu aspek psycho motoric (ketrampilan) yang tidak kalah
pentingnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, sesuai
dengan semangat yang melatarbelakangi konsep pendidikan yang diajukannya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syeikh
Muhammad Abduh dalam Tologi lebih cendrung berpahamkan Mu’tazilah dan lebih
mengedepankan Akal daripada Wahyu. Dalam satu sisi beliau sangat
berjasa dalam memberi gambaran yang jelas tentang keperluan umat Islam kepada
pembaharuan, khususnya dalam urusan-urusan keduniaan, seperti dalam urusan
pertanian, pertukangan, perindustrian , pengangkutan, perumahan, persekolahan,
pelajaran dan pengajaran , kebudayaan, kesenian, adat istiadat dan lain-lain
sebagainya kita tentu menerima modernisasinya dan bahkan menganjurkannya.
Khusus di bidang pendididkan Muhammad Abdu mampu
merubah metode pengajaran yang bersifat hafalan kepada penalaran
atau lebih dekat dengan diskusi.
B. Saran
Akhirnya,
untuk Allah SWT jualah semua pengabdian, hidup dan mati kami. Semua ide dan
gagasan baik yang ada dalam makalah ini adalah miliknya, dan semua khilaf yang
mungkin ada dalam makalah ini adalah milik kami sendiri, dan kepada pembaca
kami mohon kritik dan sarannya yang konstruktif, sekiranya ada dalam makalah
ini banyak salah dan janggal yang harus diperbaiki dikesempatan berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar